Jumat, 08 November 2013

Makalah Unsur dan Jenis Semantik


BAB I

PENDAHULUAN


1.1   Latar Belakang Masalah

Semantik atau ilmu makna berkembang sejak tahun 1970-an, meskipun sudah diawali sejak 1825, di Indonesia semantik mulai berkembang sejak 1980-an dengan munculnya beberapa artikel atau buku-buku semantik.

Kajian makna kata dalam bahasa tertentu menurut sistem penggolongan semantik adalah cabang linguistik yang bertugas semata-mata untuk meneliti makna kata, bagaimana asal mulanya, bahkan bagaimana perkembangannya, dan apa sebab-sebabnya terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa. Berapa banyak bidang ilmu-ilmu lain yang mempunyai sangkut paut dengan semantik, oleh sebab itu makna memegang peranan tergantung dalam pemakaian bahasa sebagai alat untuk penyampaian pengalaman, jiwa, pikiran dan maksud dalam masyarakat.

Dari keterangan diatas menunjukkan betapa pentingnya mempelajari semantik dalam memahami makna bahasa, sehingga dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian semantik, unsur-unsur semantik, jenis-jenis semantik dan contoh-contohnya.


1.2   RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian semantik?

2.      Apa saja unsur-unsur semantik?

3.      Apa saja jenis-jenis semantik?

4.      Apa saja contoh-contoh semantik?

       5.    Apa Pengertian Aspek, Kala, Nomina Temporal, dan Modus ?


1.3   TUJUAN PEMBAHASAN

1.      Untuk mengetahui pengertian semantik.

2.      Untuk mengetahui unsur-unsur semantik.

3.      Untuk mengatahui jenis-jenis semantik.

4.      Untuk mengetahui contoh-contoh semantik.

5.    Untuk mengetahui pengertian nAspek, Kala, Nomina Temporal, dan Modus

BAB II

PEMBAHASAN


2.1 UNSUR SEMANTIK DAN JENIS MAKNA


1. Tanda dan Lambang (Simbol)

Tanda dan lambang (simbol) merupakan dua unsur yang terdapat dalam bahasa. Tanda dan lambang (simbol) dikembangkan menjadi sebuah teori yang dinamakan semiotik. Semiotik mempunyai tiga aspek yang sangat berkaitan dengan ilmu bahasa, yaitu aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek pragmatik. Ketiga aspek kajian semiotik ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, aspek sintaksis, sintaksis semiotik merupakan studi tentang relasi yang sering kali tertuju pada pencarian peraturan-peraturan yang pada dasarnya berfungsi secara bersama-sama. Sintaksis semiotik tidak dapat membatasi diri dengan hanya mempelajari hubungan antartanda dalam suatu sistem yang sama. Sejauh perhatian utama kita ditujukan pada hubungan antartanda, maka kita bergerak dalam bidang sintaksis semiotik.

Kedua, aspek semantik, semantik semiotik merupakan penelitian yang tertuju pada hubungan antara tanda dan denotatumnya, dan interpretasinya.

Ketiga, aspek pragmatik, jika yang menjadi objek penelitian adalah hubungan antara tanda dan pemakaian tanda, maka kita memasuki bidang pragmatik semiotik. Lebih singkat Djajasudarma (1993) menjelaskan tiga aspek semiotik yaitu semantik berhubungan dengan tanda-tanda; sintaktik berhubungan dengan gabungan tanda-tanda (susunan tanda-tanda); sedangkan pragmatik berhubungan dengan asal-usul, pemakaian, dan akibat pemakaian tanda-tanda di dalam tingkah laku berbahasa.

Peletak dasar teori semiotik yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Saussure sebagai bapak ilmu bahasa modern menggunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce, seorang ahli filsafat memakai istilah semiotik. Kata semiotik berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti ‘tanda’, maka semiotik berarti ‘ilmu tanda’. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajiaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993: 1). Selanjutnya, semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992 dalam Nurgiyantoro, 2000). Menurut Sobur (2001), semiotik merupakan suatu model dari ilmu pengetahuan sosial yang memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda”.

Dengan demikian, semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Luxemburg dkk (1989), semiotik (kadang-kadang dipakai istilah semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistem lambang dan proses-proses pelambangan. Pengertian lain, semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda yang menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Preminger, 2001 dalam Sobur, 2001). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini, walau harus diakui bahwa bahasa adalah sistem bahasa yang paling lengkap dan sempurna (Nurgiyantoro, 2000: 40). Proses perwakilan disebut semiosis. Semiosis adalah suatu proses di mana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandainya (Hoed, 1992 dalam Nurgiyantoro, 2000).

Menurut Peirce ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima (Luxemburg dkk, 1989). Jadi, ada tiga unsur yang mentukan tanda, yaitu tanda yang dapat ditangkap tu sendiri, yang ditunjuknya, dan tanda baru dalam benak si penerima. Antara tanda dan yang ditunjuknya terdapat relasi, tanda mempunyai sifat interpretatif. Dengan perkataan lain, representasi dan interpretasi merupakan ciri khas tanda (van Zoest, 1993: 14-15). Peirce membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu (1) ikon, jika berupa hubungan kemiripan; (2) indeks, jika berupa hubungan kedekatan eksistensi; dan (3) simbol, jika berhubungan yang sudah terbentuk secara konvensi (Abrams, 1981; van Zoest, 1992; dalam Nurgiyantoro, 2000: 42). Van Zoest (1993) menjelaskan ketiga tanda tersebut. Tanda ikonis ialah tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpa tergantung pada adanya sebuah denotatum, tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya. Sebuah indeks adalah sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya sebuah denotatum. Simbol (lambang) adalah tanda yang hubungan antara tanda dan denotatumnya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum. Tanda dapat digolongkan berdasarkan penyebab timbulnya, seperti yang

diungkapkan Djajasudarma (1993) sebagai berikut.

  1. Tanda yang ditimbulkan oleh alam, diketahui manusia karena pengalaman,

            misalnya:

a)      Hari mendung tanda akan hujan,

b)      Hujan terus-menerus dapat menimbulkan banjir,

c)      Banjir dapat menimbulkan wabah penyakit dan kelaparan, dan sebagainya.

  1. Tanda yang ditimbulkan oleh binatang, diketahui manusia dari suara binatang

            tersebut, misalnya:

a)      Anjing menggonggong tanda ada orang masuk halaman,

b)      Kucing bertengkar (mengeong) dengan ramai suaranya tanda ada wabah penyakit atau keributan, dan sebagainya.

  1. Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, tanda ini dibedakan atas: (1) yang bersifat verbal adalah tanda yang dihasilkan manusia melalui alat-alat bicara (organ of speach) dan (2) tanda yang bersifat nonverbal, digunakan manusia untuk berkomunikasi, sama halnya dengan tanda verbal. Tanda nonverbal dapat dibedakan atas:

a)      Tanda yang dihasilkan anggota badan (body gesture) dikenal sebagai

            bahasa isyarat, misalnya:

·      Acungan jempol bermakna hebat, bagus, dan sebagainya.

·      Mengangguk bermakna ya, menghormat, dan sebagainya.

·      Menggelengkan kepala bermakna tidak, bukan, dan sebagainya.

·      Membelalakkan mata bermakna heran, marah, dan sebagainya.

·      Mengacungkan telunjuk bermakna tidak mengerti, setuju, dan

·      sebagainya.

·      Menunjuk bermakna itu, satu orang, dan sebagainya.

b)      tanda yang dihasilkan melalui bunyi (suara), misalnya:

·      Bersiul bermakna gembira, memanggil, ingin kenal, dan sebagainya.

·      Menjerit bermakna sakit, minta tolong, ada bahaya, dan sebagainya.

·      Berdeham (batuk-batuk kecil) bermakna ada orang ingin kenal, dan

·      sebagainya.


2. Makna Leksikal dan Hubungan Referensial

Unsur leksikal adalah unit terkecil di dalam sistem makna suatu bahasa dan dapat dibedakan dari unit kecil lainnya. Sebuah leksem merupakan unit abstrak yang dapat terjadi dalam bentuk-bentuk yang berbeda dalam kenyataan kalimat, dianggap sebagai leksem yang sama meskipun dalam bentuk infleksi. Makna leksikal merupakan unsur tertentu yang melibatkan hubungan antara makna kata-kata yang siap dianalisis. Makna leksikal dapat berupa categorematical dan syncategorematical, yaitu semua kata dan infleksi, kelompok alamiah dengan makna struktural yang harus didefinisikan (dimaknai) dalam satuan konstruksi.

Hubungan referensial adalah hubungan yang terdapat antara sebuah kata dan dunia luar bahasa yang diacu oleh pembicaraan. Hubungan antara kata (lambang), makna (konsep atau reference) dan sesuatu yang diacu atau referent adalah hubungan tidak langsung. Hubungan yang terjadi antara ketiga unsur tersebut, dapat digambarkan melalui apa yang disebut dengan segi tiga semiotik (semiotic triangle) dari Ogden & Richards (1972); Palmer (1976) sebagai berikut.

-        Meaning (concept) Thought of reference

-        Word

-        Form (kata) Referent Symbol stands for referent

Bagan Segi Tiga Semiotik (sumber Djajasudarma, 1993: 24)

Simbol atau lambang adalah unsur linguistik berupa kata (frasa, klausa, kalimat, wacana); referent adalah objek atau hal yang ditunjuk (peristiwa, fakta di dalam dunia pengalaman manusia); sedangkan konsep (reference) adalah apa yang ada pada pikiran kita tentang objek yang diwujudkan melalui lambang (simbol). Berdasarkan teori tersebut, hubungan simbol dan referent (acuan) melalui konsep yang bersemayam di dalam otak, hubungan tersebut merupakan hubungan yang tidak langsung. Bila diperhatikan lebih mendalam, segi tiga semiotik tersebut, puncaknya merupakan dunia pengalaman manusia, kemudian dimanisfestasikan di dalam kata, kalimat, atau wacana yang memiliki struktur diferensial. Ullmann (1972: 55-64) dalam Djajasudarma (1993), mengkritik terhadap segi tiga semiotik tersebut, kritiknya antara lain:

a)      segi tiga semiotik tersebut terlalu besar karena pada segi tiga ini dimakkan acuan, padahal komponen tersebut berada di luar bahasa,

b)      sulit untuk mencari hubungan lambang (nama, simbol), pengertian (konsep), dan benda (referent yang diacu).

Sehubungan dengan kritik tersebut, Ullmann menyarankan agar hubungan timbal balik antara bunyi dan sesuatu yang diacu disebut makna. Kita harus meninggalkan segi tiga semiotik dan dapat digambarkan dengan garis lurus, sebagai berikut. S (simbol), M (makna), dan K (konsep). S (simbol) M (makna) = K (konsep) Bagan Hubungan antara Simbol, Makna, dan Konsep dari Ullmann (sumber Djajasudarma, 1993: 25).


3. Penamaan

Istilah penamaan, diartikan Kridalaksana (1993), sebagai proses pencarian lambang bahasa untuk menggambarkan objek konsep, proses, dan sebagainya; biasanya dengan memanfaatkan perbendaharaan yang ada; antara lain dengan perubahan-perubahan makna yang mungkin atau dengan penciptaan kata atau kelompok kata. Nama merupakan kata-kata yang menjadi label setiap makhluk, benda, aktivitas, dan peristiwa di dunia. Anak-anak mendapat kata-kata dengan cara belajar, dan menirukan bunyi-bunyi yang mereka dengar untuk pertama kalinya. Nama-nama itu muncul akibat dari kehidupan manusia yang kompleks dan beragam, alam sekitar manusia berjenis-jenis. Kadang-kadang manusia sulit

memberikan nama satu per satu. Oleh karena itu, muncul nama-nama kelompok, misalnya, binatang, burung, ikan, dan sebaginya, dan tumbuh-tumbuh yang jumlahnya tidak terhitung yang merupakan jenis binatang, jenis tumbuhan, jenis burung, dan jenis-jenis yang lain yang terdapat di dunia (Djajasudarma, 1993). Penamaan suatu benda di setiap daerah atau di lingkungan kebudayaan tertentu tidak semuanya sama, misalnya: padi bahasa Indonesia

pare bahasa Sunda

pale bahasa Gorontalo.

Sehubungan dengan permasalahan yang terjadi pada perbedaan penamaan pada setiap daerah atau wilayah kebudayaan tertentu, beberapa filosof berpendapat sebenarnya bagaimana hubungan antara nama dengan benda sampaibisa berbeda.

1. Plato

Plato (429 – 348 SM) menjelaskan bahwa ada hubungan hayati antara nama dan benda (kata-kata merupakan nama-nama, sebagai label dari benda-benda atau peristiwa). Pertanyaan yang muncul dari Plato sendiri, berkenaan dengan pendapatnya ini adalah apakah pemberian nama kepada benda secara sewenang-wenang atau dengan perjanjian; apakah penamaan berdasarkan faktor sukarela atau dengan perjanjian dari semua pihak.


2. Aristoteles

Aristoteles (384 – 322 SM), mengatakan bahwa pemberian nama adalah soal perjanjian (bukan berarti dahulu ada sidang nama untuk sesuatu yang akan diberikan namanya). Nama biasanya diberikan dari seseorang (ahli, penulis, pengarang, pemimpin negara, atau masyarakat baik melalui media masa elektronik maupun majalah atau koran). Misalnya, di bidang fisika ada namanama yang kita kenal, seperti, hukum Boyle, hukum Newton, Archimides, dan lain-lain. Dalam bidang permainan olah raga, kita kenal sepak bola, tennis

meja, basket ball, bulutangkis, teis lapangan, dan sebagainya. Nama-nama tempat yang kadang-kadang dapat kita telesuri asal-usulnya dari dongeng atau cerita-cerita legenda, seperi Tangkuban Perahu, Bandung, Sumedang, Banyuwangi, Sunda Kalapa, Pandeglang, Banten, Cirebon, Majalengka, Sukapura, dan sebagainya.

3. Socrates

Socrates (469 – 399 SM), mengemukakan bahwa nama diberikan harus sesuai dengan sifat acuan yang diberi nama. Pendapat Socrates ini merupakan kebalikan dari pendapat Aristoteles. Nama-nama tertentu untuk setiap bidang ilmu yang bersifat khusus disebut istilah. Setiap bangsa memiliki nama sendiri untuk setiap benda. Tiap daerah memiliki nama-nama yang berbeda untuk jenis benda yang sama, atau kadangkadang nama dan benda yang ada di suatu daerah tidak ditemukan di daerah lain. Nama berupa kata atau kata-kata yang merupakan label dari makhluk, benda, aktivitas, dan peristiwa. Istilah adalah nama tertentu yang bersifat khusus atau suatu nama yang berisi kata atau gabungan kata yang cermat, mengungkapkan makna, konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas di bidang tertentu. Definisi adalah nama yang diberi keterangan singkat dan jelas di bidang tertentu. Sebagai gejala kebudayaan, bahasa bersifat dinamis, bahasa tumbuh dan berkembang sejalan dengan meningkatnya kemajemukan persepsi manusia terhadap dunia sekitar dan dunia yang ada di dalam dirinya. Nama-nama apabila diperhatikan secara seksama, tidak hanya nama benda atau peristiwa yang disekitarnya ada yang berubah, nama baru pun bisa muncul dengan perkembangan tersebut. Unsur nama-nama (kosakata) adalah unsur bahasa yang paling labil.

Nama-nama berikut merupakan nama-nama dengan pergeseran, pertahanan, dan perkembangan makna akibat pengaruh budaya. Akibat peristiwa duni, misalnya, negosiasi, malvinas, perang bintang, dan sebagainya. Akibat kemajuan teknologi, misalnya, televisi, computer, satelit, internet, dan sebagainya.









2.2 JENIS-JENIS SEMANTIK


            Berikut ini adalah jenis-jenis semantik :


1.      Makna Leksikal: makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, yang sesuai dengan hasil observasi indera kita, makna apa adanya, makna yang ada di dalam kamus. Misalnya, kuda bermakna leksikal sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai.

2.      Makna Gramatikal: makna gramatikal terjadi apabila terdapat proses afiksasi, reduplikasi, komposisi dan kalimatisasi. Misalnya, berkuda, kata dasar kuda berawalan ber- yang bermakna mengendarai kuda.

3.      Makna Kontekstual: makna sebuah kata yang berada di dalam suatu konteks. Misalnya: a. rambut di kepala nenek belum ada yang putih (bermakna kepala), b. sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.

Makna konteks dapat juga berkenaan dengan konteks situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu, misalnya: tiga kali empat berapa? Pertanyaan tersebut apabila dilontarkan kepada anka SD jawabannya adalah dua belas, tetapi apabila dilontarkan kepada tukang cetak foto jawabanya adalah dua ratus atau tiga ratus, karena pertanyaan tesebut mengacu pada biaya pembuatan pas photo yang berukuran tiga kali empat centimeter.

4.      Makna referansial adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan), makna referensial disebut juga makna kognitif, karena memiliki acuan. Misalnya,

(1) orang itu menampar orang

(2) orang itu menampar dirinya

       Pada (1) orang1 dibedakan maknanya dari orang2 karena orang1 sebagai pelaku dan orang2 sebagai pengalam, sedangkan pada (2) orang memiliki makna referensial yang sama dengan  orang1 dan orang2 karena mengacu kepada konsep yang sama.

5.      Makna kognitif disebut juga makna denotative adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan. Makna kognitif tidak hanya dimiliki kata-kata yang menunjuk benda-benda nyata, tetapi mengacu pula pada bentuk-bentuk yang makna kognitifnya, antara lain itu, ini, ke sana, ke sini. Misalnya orang itu mata duitan

6.      Makna konotatif adalah makna yang bersifat negatif, misalnya berbunga-bunga sampai tidak tahu sedangkan makna sedangkan makna emotif adalah makna yang bersifat positif, misalnya dia adalah bunga di kampung itu.

7.      Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari sebuah konteks atau asosiasi apa pun, misalnya kata kuda memiliki makna konseptula sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai.

8.      Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa, misalnya kata melati berasosiasi dengan suci atau kesucian, kata merah berasosiasi dengan berani.

9.      Makna idiom adalah makna leksikal yang terbentuk dari beberapa kata. Kata-kata yang disusun dengan kombinasi kata lain dapat pula menghasilkan makna berlainan, misalnya meja hijau bermakna pengadilan, membanting tulang bermakna bekerja keras.

10.  Makna pribahasa adalah makna yang hampir mirip dengan makna idiom, akan tetapi terdapat perbedaan, makna pribahasa adalah makna yang masih dapat ditelusuri dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai pribahasa, sedangkan makna idiom tidak dapat diramalkan. Misalnya, seperti anjing dan kucing yang bermakna dua orang yang tidak pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersuara memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.









2.3 ASPEK, KALA, NOMINA TEMPORAL, DAN MODUS


Kala (tense) merupakan salah satu cara untuk menyatakan temporal deiktis melalui perubahan kategori gramatikal verba berdasarkan waktu.


1.      Aspek

Aspek adalah cara memandang struktur temporal intern suatu situasi (Comrie, 1976:3). Sedangkan modus, menyangkut masalah sikap pembicara, antara lain modus indikatif, subjungtif, imperatif, dan sebagaimya. Aspek terbagi atas: (1) aspek perfektif, (2) aspek imperfektif

2.      Kala dan Nomina Temporal

Kala (tense) adalah suatu cara untuk menyatakan temporal deiktis di samping nomina temporal, seperti sekarang, baru-baru ini, segera, hari ini, kemarin.

3.      Aspek , Kala, dan Nomina

Keaspekan, kala, dan NTE berbeda dalam hal: aspek berhubungan erat dengan macam perbuatan (situasi), tidak mempersoalkan tempatnya di dalam waktu, sedangkan kala dan NTE menunjukkan terjadinya suatu perbuatan

4.      Modus

Modus adalah istilah linguistik yang menyatakan makna verba mengungkapkan suasana kejiwaan sehubungan dengan perbuatan menurut tafsiran pembicara atau sikap pembicara mengenai apa yang di ucapkannya.

5.      Modalitas dan Keaspekan sebagai Komponen Ketransitifan

Parameter yang digunakan Hopper dan Thompson untuk mengukur ketransitifan sebuah verba adalah: partisipan, kinesia, keaspekan, pungtualitas, kesengajaan, pengukuhan, modalitas, peran pelaku, akibat, dan pengkhususan.

6.      Deiksis (penunjukan)

Deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicaraatau yang diajak bicara (Lyons, 1977:637). Penunjukan dapat berupa: 1) pronomina orang, 2) nama diri, 3) pronomina demonstratif, 4) kala, 5) keaspekan ciri gramatikal atau leksikal waktu.














































BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan


Semantik dalam bahasa Yunani yayaitu Semantikos, memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda adalalah cabang lingustik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis rtepresentasi lain. Semantik biasanya dikontraskan dengan dua aspek lain dari ekspresi makna.

Unsur-unsur Semantik :

1. Tanda yang ditimbulkan oleh alam

2. Tanda yang ditimbulkan oleh binatang

3. Tanda yang ditimbulkan oleh manusia

     a. Verbal

     b. Non Verbal

Jenis-jenis Semantik:

1. Makna Leksikal            6. Makna Konotatif

2. Makna Gramatikal       7. Makna Konseptual

3. Makna Kontekstual      8. Makna Asosiatif

4. Makna Referansial       9. Makna Idiom

5. Makna Kognitif           10. Makna Pribahasa


Sementara, Kridalaksana (1993) dalam Kamus Linguistik, menyebutkan jenis-jenis makna seperti: makna denotatif, makna ekstensi, makna gramatikal, makna hakikat, makna intensi, makna kiasan, makna kognitif, makna konotatif, makna konstruksi, makna kontekstual, makna leksikal, makna luas, makna majas, makna pusat, makna referensial, makna sempit, dan makna tak berciri. Juga jenis-jenis klausa seperti Aspek, Kala, Nomina Temporal, dan Modus







DAFTAR PUTAKA




http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/KEBAHASAAN_I/BBM_8.pdf

efriyulyta91.blogspot.com/2013/03/tugas-tentang-kajian-makna.html

Pateda,Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta.


Djajasudarma,T Fatimah. 2009. Semantik 2. Bandung : Refika Aditama.   



























KESIMPULAN

Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan masyarakat, maka makna bahasa itupun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Kurang lebih ada dua belas jenis makna yang terdapat dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Kedua belas jenis makna tersebut adalah makna sempit, makna luas, makna kognitif, makna konotatif dan makna emotif, makna referensial, makna konstruksi, makna leksikal dan makna gramatikal, makna idesional, makna proposisi, makna pusat, makna piktorial, dan makna idiomatik. Ada juga yang membagi jenis makna berdasarkan kesamaan atau lawan makna-makna yang lain, seperti Chaer (1994) membagi jenis makna menjadi:
1. makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual;
2. makna referensial dan non-referensial;
3. makna denotative dan makna konotatif;
4. makna konseptual dan makna asosiatif;
5. makna kata dan makna istilah; dan
6. makna idiom dan makna peribahasa.
Sementara, Kridalaksana (1993) dalam Kamus Linguistik, menyebutkan jenis-jenis makna seperti: makna denotatif, makna ekstensi, makna gramatikal, makna hakikat, makna intensi, makna kiasan, makna kognitif, makna konotatif, makna konstruksi, makna kontekstual, makna leksikal, makna luas, makna majas, makna pusat, makna referensial, makna sempit, dan makna tak berciri.